Rabu, 26 Agustus 2015

ASPEK HUKUM DALAM JASA KONSTRUKSI

           HUKUM DALAM KONSTRUKSI


 

PENDAHULUAN

 

 

Bidang Jasa Kosntruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan pebangunan disetiap Negara. Menyangkut tentang Jasa Konstruksi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan jasa konstruksi telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas : kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Selanjutnya pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk: (1) Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. (2) Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.

Dalam pelaksanaannya Jasa Konstruksi selain telah diatur secara peraturan perundang-undangan    permasalahan jasa konstruksi juga harus memenuhi beberapa aspek hukum, yaitu : Keperdataan, Administrasi Negara, Pidana, Ketenagakerjaan dan aspek hukum lain yang mengatur sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan jasa konstruksi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ASPEK HUKUM DALAM JASA KONSTRUKSI

 

Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :

 

• Keperdataan ; menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hokum para pihak dalam perjanjian.

 

• Administrasi Negara; menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.

 

• Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.

 

• Pidana : menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.

 

Mengenai hokum kontrak konstruksi merupakan hokum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang.Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan ; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

 

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang diperkenankan.

 

Konrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.

 

Kontrak Kerja Konstruksi

Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya :

1. para pihak
2. isi atau rumusan pekerjaan
3. jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4. tenaga ahli
5. hak dan kewajiban para pihak
6. tata cara pembayaran
7. cidera janji
8. penyelesaian tentang perselisihan
9. pemutusan kontrak kerja konstruksi
10. keadaan memaksa (force majeure)
11. tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12. perlindungan tenaga kerja
13. perlindungan aspek lingkungan. 

Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.

Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM JASA KONSTRUKSI

 

1. Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2. PP No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3. PP No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
4. PP No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
5. Kepres RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut perubahannya
6. Kepmen KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
7. Surat Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006
8. Peraturan Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing
9. dan peraturan-peraturan lainnya

 

 

 

 

 

 

PERMASALAHAN HUKUM DALAM JASA KONSTRUKSI

 

A. DALAM ASPEK HUKUM PERDATA

Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

 

Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.

 

Perbuatan Melawan Hukum adalah ; perbuatan yang sifatnya langsung melawan hokum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hokum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). 

 

Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.

 

B. DALAM ASPEK HUKUM PIDANA

Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).

Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.

 

Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;

 

Pasal 378 KUHP (penipuan) ;

“ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.

 

Pasal 372 KUHP (penggelapan;

“ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“  

 

 

Pidana Korupsi ; persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 

 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah ;

 

1. Perbuatan melawan hukum; 

2. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 

3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian; 

4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan 

   dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.


Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

 

Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32  ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

 

Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan / atau berpotensi menimbulkan kerugian negara. 

 

Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.

 

 

C. ASPEK SANKSI ADMINISTRATIF

Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu ;

1. Peringatan tertulis
2. Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
3. Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
4. Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5. Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi  
6. Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi. 

 

KESIMPULAN

 

Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini juga harus dipenuhi dengan kesadaran dan kecakapan hukum daripada para pelaku jasa konstruksi. Maka sudah sepatutnya para pelaku jasa konstruksi untuk dibekali kemampuan akan pengetahuan hukum serta untuk setiap pekerjaan jasa konstruksi didampingi dengan penanggung jawab hukum dalam setiap proyek yang dikerjakan.

Minggu, 19 April 2015

AZAS LEGALITAS

 
ASAS LEGALITAS
1. arti dan makna asas legalitas
          Asas legalitas diatur dalam pasal 1 ayat  (1) KUHPidana yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana  (deliuk/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
          Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung 3 pokok pengertian.yakni :
1.   tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya / terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan operbuatan
2.   untuk menentukan adanya perestiwa pidana (delik m/ tindak pidana ) tidak boleh menggunakan analogi.
3.   peraturan-peraturan hukum pidana / perundang-undangan tidak boleh berlaku surut.

2. tujuan asas legalitas
          Menurut muladi asas legalitas di adakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas di adakan bertujuan untuk :
a.   memperkuat adanya kepastian hukum.
b.   menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.
c.   mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana.
d.   mencegah penyalah gunaan kekuasaan. Serta
e.   memperkokoh penerapan “the rule of law”.

Penerapan asas legalitas bervariasi dan berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Tergantung apakah negara tersebut menganut sistem pemerintahan demokratis, seperti negara kita ini ataukah menganut sistem tirani. Selain itu hal itu juga akan bergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara. Apakah negara tersebut menggunakan sistem hukum eropa kontinental atau menggunakan sistem hukum anglo saxon.

3. pengecualian asas legalitas
          Asas legalitas (pasal 1 ayat (1) KUHP ini ) memiliki pengecualian khusus mengenai keberadaannya.yaitu di atur dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka / terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan saja teehadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
          Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundanga-undangan yang di maksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :
1.   teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah. Perubahan undang-undang lain selain selain dari uu pidana walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang di maksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
2.   teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan keyakinan  hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman atau karena keadaan tidak dapat di anggap sebagai perubahan dalam UU pidana.
3.   teori material tak terbatas yang  merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5 desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun perubahan yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).

Rabu, 20 Agustus 2014

PANSUS REVISI UU ADVOKAT DPR AGAR SEGERA MENUNTASKAN PEMBAHASANYA MENJADI UU ADVOKAT

PANSUS REVISI UU ADVOKAT DPR AGAR SEGERA MENUNTASKAN PEMBAHASANYA MENJADI UU ADVOKAT

UU No 18 th 2003 tentang Advokat sudah berlaku selama 11 tahun. Terhadap UU tersebut sudah di ajukan yudicial revieu (uji materi) di MK oleh kalangan Advokat, paling tidah sudah lebih kurang duapuluh kali, hal ini membuktikan banyaknya resistensi terhadap UU No. 18 th 2003 tentang Advokat tersebut.
Dalam realitasnya, UU dimaksud sudah tidak selaras dengan perkembangan demokrasi di Indonesia yang memberi kebebasan berorganisasi kepada warga Negara nya, dan tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar Advokat, yang sulit di satukan dalam satu wadah tunggal organisasi. Secara historis bisa dilihat faktanya, pada th 1964, berdiri organisasi Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), yang di zamanya dapat di anggap sebagai satu-satunya wadah organisasi bagi para Advokat. PERADIN saat itu banyak melahirkan Advokat-Advokat pejuang kenamaan, seperti Sukardjo Adijoyo, M. Tasrif, Yap Thiam Hien, Haryono Tjitro Subowo dan Adnan Buyung Nasution.
Dalam perkembanganya, pada awal th 1980 an berdiri beberapa kelompok Organisasi Advokat dan bantuan Hukum lain diantaranya PUSBADHI dan LPPH. Pada November 1985 Pemerintah yang di wakili Menteri Kehakiman ketika itu, Ali Said, memfasilitasi untuk menyatukan organisasi-organisasi Advokat menjadi wadah tunggal dengan melaksanakan MUNAS Advokat. MUNAS tersebut melahirkan organisasi wadah tunggal Advokat dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Ternyata, IKADIN yang dimaksudkan sebagai wadah tunggal Organisasi Advokat tidak dapat bertahan lama karena pada bulan Mei 1987 berdiri Organisasi Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) di Surabaya. Pada th 1989/1990 berdiri Organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang merupakan pecahan dari IKADIN. Pada th 1993 berdiri Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), yang merupakan pecahan IPHI. Tahun-tahun berikutnya berdiri Organisasi Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (AKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jumlah Organisasi Advokat menjadi 8 Organisasi.
Setelah berlaku UU Advokat No 18 th 2003 yang juga menghendaki Organisasi Advokat dalam satu wadah tunggal, maka berdasarkan deklarasi 8 Organisasi Advokat yang diwakili Ketua umum dan Sekjennya, pada sekitar th 2005 berdiri Organisasi Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). Kesepakatan yang terjadi diantara Organisasi pendiri PERADI pada saat itu ditunjuk pengurus sementara selama 2 Tahun dalam rangka mempersiapkan MUNAS/KONGRES ADVOKAT, sesuai dengan perintah Pasal 28 UU Advokat, yang mengatur bahwa Organisasi wadah tunggal Advokat itu dibentuk berdasarkan musyawarah (MUNAS/KONGRES para Advokat. Dan bukan berdasarkan musyawarah para pengurus Organisasi saja. Ternyata kemudian pengurus PERADI tidak kunjung melakukan MUNAS setelah berdiri sejak 2 th lebih. Akibanya terjadi perpecahan di tubuh PERADI, empat pengurus Organisasi pendirinya yakni dari IPHI, IKADIN pimpinan Teguh Samudra, HAPI dan APSI mengundurkan diri dari PERADI dan bahkan membuat pengumuman pembubaran PERADI di Koran.
Pada 30 mei 2008 dilaksanakan Kongres Advokat di Jakarta, yang didukung oleh IKADIN pimpinan Teguh Samudra (sekarang pimpinan Todung Mulya Lubis), IPHI, HAPI dan HPSI dan para Advokat senior, antara lain Adnan Buyung Nasution, Ronggur Hatagalung dan lainya. Kongres Advokat waktu itu dihadiri lebih dari 3000 Advokat dan ribuan surat-surat dukungan dari Advokat di seluruh Indonesia yang tidak bisa menghadiri Kongres Advokat tersebut. Hasil Kongres Advokat yang jumlah pesertanya sangat besar itu ( sangat legitimate) menghasilkan berdirinya Organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Perlu diketahui bahwa UU No. 18 th 2003 tentang Advokat tersebut, juga teledor menyalahi perinsip Independen yang merupakan perinsip dasar dari profesi Advokat, dengan dimasukkanya aturan yang menyangkut kewajiban seorang calon Advokat sebelum menjalankan praktek, diambil sumpahnya dihadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Aturan ini dapat mengakibatkan profesi Advokat berada dibawah pengaruh MA, PT, dan Hakim-Hakim Pengadilan. Sebagai perbandingan, untuk profesi penegak Hukum lainya: Polisi, Jaksa dan Hakim, sebelum mereka menjalankan profesinya mereka disumpah oleh instansi masing_masing. Ironis, Advokat disumpah oleh Pengadilan Tinggi.
Aturan mengenai sumpah Advokat ini terbukti telah menimbulkan dampak yakni merusak Independensi dan martabat profesi Advokat. Karena, ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia tidak mau mengambil Sumpah calon Advokat KAI yang sudah memenuhi syarat, yang menurut info yang berkembang di kalangan pengadilan tinggi, ketua pengadilan tinggi tidak berani mengabil sumpah Anggota KAI maupun Organisasi Advokat lainya karena takut kena sangsi oleh pihak Mahkamah Aggung, seperti yang di alami mantan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon. Pengadilan Tinggi hanya bersedia mengambil sumpah calon Advokat PERADI, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101 th 2009 menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon Advokat tanpa melihat dari Organisasi manapun yang mengajukanya, baik yang di ajukan PERADI maupun KAI, mengingat belum terbentuknya Organisasi wadah tunggal sebagai mana dimaksud UU Advokat No 18 th 2003.
Keadaan bertambah parah, para Advokat KAI maupun Advokat dari Organisasi lainya, banyak yang di tolak hakim pengadilan, pada saat mereka menjalankan profesi membela klienya, baik atas keberatan Advokat dari PERADI atau atas inisiatif majelis hakim yang memimpin sidang,dengan alasan Advokat tersebut belum memiliki berita acara sumpah (BAS). Akibatnya sering terjadi ketegangan antara majelis hakim dengan Advokat yang di tolak tersebut, padahal Advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah Advokat adalah pihak pengadilan tinggi.
Akibat lebih jauh timbul persepsi negative di kalangan Advokat yang di tolak sidang terhadap hakim pengadilan: Hakim pengadilan, di anggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM; Ketua Pengadilan Tinggi tidak mentaati Hukum (putusan MK 101).
Perkembangan terkini yang di alami profesi Advokat tergerusnya independen dan martabat Advokat serta lunturnya solidaritas sesama Advokat. Seakan akan Advokat yang sudah memiliki BAS senang dan bangga mempermalukan rekan sejawatnya yang tidak di perkenankan mengikuti sidang pengadilan.
Berkenaang dengan hal tersebut di atas maka para Advokat yang belum mendapatkan BAS dan yang selalu terjegal menjalankan profesinya menaruh harapan besar agar revisi UU Advokat dapat segera di sahkan pada akhir masa tugas DPR saat ini. Dengan revisi UU Advokat tersebut akan terlaksana pengambilan sumpah calon Advokat yang sudah memenuhi syarat tanpa hambatan dan tanpa diskriminasai sebagaimana yang dialami selama ini karna dalam revisi UU Advokat di akomodir multi organisasi Advokat dan pengambilan sumpah Advokat di lakukan oleh organisasi Advokat secara independen
Sekalipun Revisi UU Advokat tersebut mengakomodir adanya multi Organisasi Advokat,namun persyaratan diakunya suatu Organisasi Advokat tersebut tidaklah mudah, karena Organisasi yang di akui sah adalah yang mempunyai pengurus di semua propinsi di Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus 30% di kabupaten /kota di setiap profinsi. Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidah banyak Organisasi yang dapat di akui menjadi Organisasi Advokat yang sah.
Mengenai standar pendidikan khusus profesi Advokat maupun ujian Advokat, dalam revisi UU Advokat kurikulum tentu mengacu kepada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, oleh karenanya diyakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik, sehingga kekhwatiran PERADI dan kalangan unsur Pengadilan Tinggi bahwa dengan multi Organisasi, akan menimbulkan banyak Advokat nakal yang akan merugikan pencari keadilan, tidak akan terjadi. Nakal tidaknya seorang Advokat bukan karena sistim wadah tunggal atau multi Organisasi, tetapi tergantung integritas pribadi Advokat yang bersangkutan, dan pengawasan dari Organisasi, Masyarakat dan Pemerintah.
Di samping itu revisi UU tersebut juga mengenal adanya lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN) yang akan bertugas menjaga/mengawal etika profesi, kurikulum pendidikan Advokat . Sekalipun DAN diseleksi oleh panitia yang disiapkan pemerintah dan di pilih oleh DPR belum tentu anggota DAN yang terpilih akan tunduk terhadap anggota DPR/tekanan politis pihak yang memilihnya, tergantung integritas moral anggota DAN tersebut. Kita bisa melihat contoh anggota KPK, mereka tidak tunduk terhadap pemerintah maupun terhadap anggota DPR yang memilihnya. Oleh karena itu sangat di perlukan partisipasi organisasi Advokat untuk memberikan masukan kepada DPR terhadap integritas dan track record dari calon-calon anggota DAN yang akan di pilih.
Secara khusus, terhadap pimpinan PERADI dihimbau, agar tidak terlalu resisten terhadap revisi UU Advokat , karena revisi UU Advokat tersebut yang mengatur lebih detail tentang seluk beluk profesi Advokat, diyakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat. Sudah tidak zamanya lagi organisasi Advokat merupakan wadah tunggal, karena berdasarkan sejarah sudah terbukti Organisasi wadah tunggal Advokat di Indonesia tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah. 
Berkenaan dengan hal tersebut mengingat revisi UU Advokat sangat di perlukan guna perbaikan mutu profesi Advokat dan penegakan Hukum di Indonesia, dimohon kepada Pansus revisi UU Advokat DPR RI untuk segera mengesahkanya menjadi UU.



Jakarta 20 Agustus 2014

ERMAN UMAR, S.H
PRAKTISI HUKUM KAI


Sent from Yahoo Mail for iPhone

Minggu, 17 Agustus 2014

REKONSILIASI ADVOKAT INDONESIA

           PERLUNYA REKONSILIASI

DALAM ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA

 

               ERMAN UMAR.,SH

 

A.  SEJARAH ORGANISASI  ADVOKAT DI  INDONESIA

 

Sejarah organisasi advokat secara nasional bermula dari didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah yang sedang berkuasa sehingga pemerintah ORBA menfasilitasi berdirinya Organisasi Advokat munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin dan Ikadin ternyata tdiak bisa diintervensi Pemerintah. Kemudian sekitar bulan Mei 1987 berdiri IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia). Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan Ikadin lahir Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mendirikan dan kemudian. Dimana selanjutnya lahir Organisasi Advokat lain yaitu : HAPI, AKHI, SPI, HKHPM, dan APSI

Sejak diberlakukannya UU Advokat No.18 Tahun 2003 pada tanggal 5 April 2003, maka 8 organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya disahkan pada 8 September 2005.

Peradi tersebutlah yang pada saat perjalanannya ternyata tidak dapat memenuhi beberapa hal permasalahan secara organisasi tidak melaksanakan kongres sesuai dengan komitmen selama 2 tahun dalam masa transisi, maka menimbulkan perpecahan lahirnya KAI (Kongres Advokat Indonesia) pada tahun 2008. Sehingga sampai saat ini ada 2 (dua) organisasi Advokat yang melaksanakan UU Advokat 18 Tahun 2003. Dalam keberlangsungannya PERADI ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia. Dan KAI ini menyelengarakan Diklat Khusus Pendidikan Advokat (DKPA), Ujian Calon Advokat (UCA) dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia.

 

B. INTERVENSI MARI dengan Surat Ketua Mahkamah Agung No.052 dan 089

Bahwa dalam perjalanannya kedua Organisasi Advokat yaitu KAI dan PERADI mengalami perdebatan dan gesekan yang sangat tidak sehat dengan turut campurnya MARI yang berkepihakan kepada PERADI dengan alasan dan kompentensi yang tidak jelas. Dimana Ketua MA awalnya mengeluarkan Surat Nomor: 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk tidak mengambil sumpah advokat sebelum ada ishlah antara Peradi-KAI. Kemudian dengan lahirnya surat tersebut, oleh perjuangan para Advokat KAI pun berontak. Mereka menguji Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mengharuskan agar calon advokat diambil sumpah di Pengadilan Tinggi sebelum berpraktek,maka lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009" tanggal 30 Desember 2009, dimana putusannya mengakui keberadaan Organisasi Advokat KAI dan PERADI dan memerintahkan dalam 2 (dua) tahun sejak putusan ini untuk melakukan munas bersama danmenyatakan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon Advokat tanpa melihat dari organisasi apapun yang mengajukannya.

Setelah keluarnya Putusan MK No.101 kemudian ada upaya KAI-PERADI untuk melakukan MUNAS bersama untuk membentuk organisasi wadah tunggal , tapi disayangkan akhirnya entah oleh karena apa yang salah diantara tokoh-tokoh KAI-PERADI ternyata yangterjadinya niat Piagam Perdamaian sekitar tanggal 24 Juni 2010 antara PERADI dan KAI yang berakhir dengan pembatalan dikarenakan ditentang oleh DPD-DPD dan anggota KAI, namun tetap diberlakuakn oleh PERADI dan MARI secara sepihak dan terlihat dengan  menerbitkan surat bernomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang mencabut surat bernomor 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk dapat mengambil sumpah para calon advokat dengan ketentuan usul penyumpahan harus diajukan pengurus Peradi sesuai jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010,” dimana beralaskan dasarmenerbitkan SK KMA 089 itu berdasarkan Pasal 32 ayat (4) UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Ketentuan itu berbunyi ‘Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya’. SK KMA 089 itu hanya memberi petunjukinternal kepada semua pengadilan di bawah MA terkait penyumpahan advokat yang merugikan salah satu pihak Organisasi Advokat. Hal ini sangat jelas memperlihatkan keberpihakan MARI yang memaksakan kewenangannya untuk memberikan petunjuk untuk membenarkan PERADI. Namun MA secara jelas tidak mempunyai kewenangan untuk mengesahkan Organisasi Advokat mana yang sah secara hukum. Keadaan inilah yang memicu terjadinya penolakan Advokat untuk bersidang di peradilan dengan mempermasalahkan BAS yang dilakukan oleh KPT (Ketua Pengadilan Tinggi).

C. PERPECAHAN LEMBAGA ADVOKAT INDONESIA

Dengan lahirnya Surat Ketua MA No. 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010, maka keadaan bertambah parah, para Advokat KAI maupun dari Organisasi Advokatlainnya, banyak yang ditolak Hakim Pengadilan, pada saat mereka menjalankan profesi membela kliennya, baik atas keberatan Advokat dari PERADI ataupun atas inisiatif Majelis Hakim yang memimpin sidang, dengan alasan Advokat tersebut belum memiliki Berita Acara Sumpah (BAS). Akibat sering terjadi ketegangan antara Majelis Hakim dengan Advokat yang ditolak tersebut, padahal Advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah Advokat adalah pihak Pengadilan Tinggi. Akibat lebih jauh timbul persepsi negatif dikalangan Advokat yang ditolak bersidang baik terhadap Organisasi PERADI maupun terhadap Pengadilan Tinggi/Hakim Pengadilan, yang di anggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM, Warga Negara dalam mencari nafkah dan mengembangkan profesinya, perkembangan terkini yang dialami profesi Advokat tergerusnya independen dan martabat Advokat serta lunturnya solidaritas sesama Advokat, dimana sering terjadi Advokat bagaikan serigala bagi advokat lainya dan Hakim menjadi serigala bagi advokat. Seakan-akan Advokat yang sudah memiliki Berita Acara Sumpah (BAS) senang dan bangga mempermasalahkan rekan sejawatnya yang tidak diperkenankan mengikuti sidang Pengadilan.

Pada sisi lain secara tegas dan nyata bahwa Pengadilan Tinggi tidak mentaati Hukum (Putusan MK 101 tanggal 30 Desember 2009) berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka para Advokat yang belum mendapatkan Berita Acara Sumpah (BAS)  dari Pengadilan Tinggi, dan yang selalu terjegal menjalankan profesi mencari nafkah, menaruh harapan besar agar Revisi UU Advokat dapat segera di sahkan pada akhir masa Pemerintahan dan DPR RI saat ini (2009-2014). Dengan Revisi UU Advokat tersebut, akan memungkinkan terlaksananya pengambilan sumpah calon advokat, yang sudah memenuhi syarat sebagai Advokat, tanpa hambatan dan tanpa disrkriminasi sebagaimana yang dialami selama ini.

D. REKONSILIASI ADVOKAT INDONESIA

Untuk mengambalikan citra dan wibawa profesiADVOKAT INDONESIA, perlu dilakukan rekonsiliasi advokat. Dimana pengertian Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).

Memperhatikan begitu pentingnya kedudukan ADVOKAT dalam penegakan hukum maka semua pihak baik para Advokat, Organisasi Advokat, Pemerintah dan masyarakat Bangsa Indonesia menuntut dan bersama-sama untuk menciptakan situasi yang kondusif ADVOKAT INDONESIA dengan cara rekonsiliasi dan mendukung terhadap lahirnya UU Advokat yang baru karena UU Advokat yang lama sudah sangat ketinggalan yang tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas Advokat Indonesia.

Untuk itu secara khusus, terhadap rekan Pimpinan PERADI dihimbau, agar tidak terlalu resisten terhadap Revisi UU Advokat, karena Revisi UU Advokat tersebut yang lebih detail dari UU Advokat yang lama, di yakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat. Sudah tidak zamannya lagi organisasi Advokat merupakan wadah tunggal, karena berdasarkan sejarah, sudah terbukti, Organisasi wadah tunggal tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah, merusak independen danmartabat Advokat serta merusak solidaritas dikalangan sesama Advokat.

Revisi UU Advokat tersebut juga, mengakomodir adanya multi Organisasi Advokat. Memungkinkan untuk lahirnya Organisasi Advokat yang baru sehingga menciptakan keragaman yang bersifat demokratis. Menyangkut pendirian Oranisasi Advokat yang baru tidaklah mudah karena Organisasi Advokat yang diakui harus mempunyai pengurus di semua Propinsi Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus di 30% DPC di wilayahKota/Kabupaten di setiap Propinsi. Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidak mudah suatu organisasi dapat di akui menjadi Organisasi Advokat. Serta mengenai standar pendidikan khusus profesi Advokat maupun ujian Advokat, dalam Revisi UU Advokat kurikulumnya tentu mengacu kepada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, oleh karenanya di yakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik.

Maka perlunya wujud rekonsiliasi advokat dikalangan Organisasi Advokat untuk mengembalikan wibawa dan martabat profesi advokat. Rekonsilasi tidak harus bersatu dalam satu organisasi, tetapi dalam bentuk solidaritas, saling menghargai dan menghormati diantara Advokat.

 

Jakarta, 15 Agustus 2014

 Praktisi Hukum KAI

 

 ERMAN UMAR.,SH