PERLUNYA REKONSILIASI
DALAM ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA
ERMAN UMAR.,SH
A. SEJARAH ORGANISASI ADVOKAT DI INDONESIA
Sejarah organisasi advokat secara nasional bermula dari didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah yang sedang berkuasa sehingga pemerintah ORBA menfasilitasi berdirinya Organisasi Advokat munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin dan Ikadin ternyata tdiak bisa diintervensi Pemerintah. Kemudian sekitar bulan Mei 1987 berdiri IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia). Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan Ikadin lahir Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mendirikan dan kemudian. Dimana selanjutnya lahir Organisasi Advokat lain yaitu : HAPI, AKHI, SPI, HKHPM, dan APSI
Sejak diberlakukannya UU Advokat No.18 Tahun 2003 pada tanggal 5 April 2003, maka 8 organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya disahkan pada 8 September 2005.
Peradi tersebutlah yang pada saat perjalanannya ternyata tidak dapat memenuhi beberapa hal permasalahan secara organisasi tidak melaksanakan kongres sesuai dengan komitmen selama 2 tahun dalam masa transisi, maka menimbulkan perpecahan lahirnya KAI (Kongres Advokat Indonesia) pada tahun 2008. Sehingga sampai saat ini ada 2 (dua) organisasi Advokat yang melaksanakan UU Advokat 18 Tahun 2003. Dalam keberlangsungannya PERADI ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia. Dan KAI ini menyelengarakan Diklat Khusus Pendidikan Advokat (DKPA), Ujian Calon Advokat (UCA) dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia.
B. INTERVENSI MARI dengan Surat Ketua Mahkamah Agung No.052 dan 089
Bahwa dalam perjalanannya kedua Organisasi Advokat yaitu KAI dan PERADI mengalami perdebatan dan gesekan yang sangat tidak sehat dengan turut campurnya MARI yang berkepihakan kepada PERADI dengan alasan dan kompentensi yang tidak jelas. Dimana Ketua MA awalnya mengeluarkan Surat Nomor: 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk tidak mengambil sumpah advokat sebelum ada ishlah antara Peradi-KAI. Kemudian dengan lahirnya surat tersebut, oleh perjuangan para Advokat KAI pun berontak. Mereka menguji Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mengharuskan agar calon advokat diambil sumpah di Pengadilan Tinggi sebelum berpraktek,maka lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009" tanggal 30 Desember 2009, dimana putusannya mengakui keberadaan Organisasi Advokat KAI dan PERADI dan memerintahkan dalam 2 (dua) tahun sejak putusan ini untuk melakukan munas bersama danmenyatakan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon Advokat tanpa melihat dari organisasi apapun yang mengajukannya.
Setelah keluarnya Putusan MK No.101 kemudian ada upaya KAI-PERADI untuk melakukan MUNAS bersama untuk membentuk organisasi wadah tunggal , tapi disayangkan akhirnya entah oleh karena apa yang salah diantara tokoh-tokoh KAI-PERADI ternyata yangterjadinya niat Piagam Perdamaian sekitar tanggal 24 Juni 2010 antara PERADI dan KAI yang berakhir dengan pembatalan dikarenakan ditentang oleh DPD-DPD dan anggota KAI, namun tetap diberlakuakn oleh PERADI dan MARI secara sepihak dan terlihat dengan menerbitkan surat bernomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang mencabut surat bernomor 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk dapat mengambil sumpah para calon advokat dengan ketentuan usul penyumpahan harus diajukan pengurus Peradi sesuai jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010,” dimana beralaskan dasarmenerbitkan SK KMA 089 itu berdasarkan Pasal 32 ayat (4) UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Ketentuan itu berbunyi ‘Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya’. SK KMA 089 itu hanya memberi petunjukinternal kepada semua pengadilan di bawah MA terkait penyumpahan advokat yang merugikan salah satu pihak Organisasi Advokat. Hal ini sangat jelas memperlihatkan keberpihakan MARI yang memaksakan kewenangannya untuk memberikan petunjuk untuk membenarkan PERADI. Namun MA secara jelas tidak mempunyai kewenangan untuk mengesahkan Organisasi Advokat mana yang sah secara hukum. Keadaan inilah yang memicu terjadinya penolakan Advokat untuk bersidang di peradilan dengan mempermasalahkan BAS yang dilakukan oleh KPT (Ketua Pengadilan Tinggi).
C. PERPECAHAN LEMBAGA ADVOKAT INDONESIA
Dengan lahirnya Surat Ketua MA No. 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010, maka keadaan bertambah parah, para Advokat KAI maupun dari Organisasi Advokatlainnya, banyak yang ditolak Hakim Pengadilan, pada saat mereka menjalankan profesi membela kliennya, baik atas keberatan Advokat dari PERADI ataupun atas inisiatif Majelis Hakim yang memimpin sidang, dengan alasan Advokat tersebut belum memiliki Berita Acara Sumpah (BAS). Akibat sering terjadi ketegangan antara Majelis Hakim dengan Advokat yang ditolak tersebut, padahal Advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah Advokat adalah pihak Pengadilan Tinggi. Akibat lebih jauh timbul persepsi negatif dikalangan Advokat yang ditolak bersidang baik terhadap Organisasi PERADI maupun terhadap Pengadilan Tinggi/Hakim Pengadilan, yang di anggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM, Warga Negara dalam mencari nafkah dan mengembangkan profesinya, perkembangan terkini yang dialami profesi Advokat tergerusnya independen dan martabat Advokat serta lunturnya solidaritas sesama Advokat, dimana sering terjadi Advokat bagaikan serigala bagi advokat lainya dan Hakim menjadi serigala bagi advokat. Seakan-akan Advokat yang sudah memiliki Berita Acara Sumpah (BAS) senang dan bangga mempermasalahkan rekan sejawatnya yang tidak diperkenankan mengikuti sidang Pengadilan.
Pada sisi lain secara tegas dan nyata bahwa Pengadilan Tinggi tidak mentaati Hukum (Putusan MK 101 tanggal 30 Desember 2009) berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka para Advokat yang belum mendapatkan Berita Acara Sumpah (BAS) dari Pengadilan Tinggi, dan yang selalu terjegal menjalankan profesi mencari nafkah, menaruh harapan besar agar Revisi UU Advokat dapat segera di sahkan pada akhir masa Pemerintahan dan DPR RI saat ini (2009-2014). Dengan Revisi UU Advokat tersebut, akan memungkinkan terlaksananya pengambilan sumpah calon advokat, yang sudah memenuhi syarat sebagai Advokat, tanpa hambatan dan tanpa disrkriminasi sebagaimana yang dialami selama ini.
D. REKONSILIASI ADVOKAT INDONESIA
Untuk mengambalikan citra dan wibawa profesiADVOKAT INDONESIA, perlu dilakukan rekonsiliasi advokat. Dimana pengertian Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Memperhatikan begitu pentingnya kedudukan ADVOKAT dalam penegakan hukum maka semua pihak baik para Advokat, Organisasi Advokat, Pemerintah dan masyarakat Bangsa Indonesia menuntut dan bersama-sama untuk menciptakan situasi yang kondusif ADVOKAT INDONESIA dengan cara rekonsiliasi dan mendukung terhadap lahirnya UU Advokat yang baru karena UU Advokat yang lama sudah sangat ketinggalan yang tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas Advokat Indonesia.
Untuk itu secara khusus, terhadap rekan Pimpinan PERADI dihimbau, agar tidak terlalu resisten terhadap Revisi UU Advokat, karena Revisi UU Advokat tersebut yang lebih detail dari UU Advokat yang lama, di yakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat. Sudah tidak zamannya lagi organisasi Advokat merupakan wadah tunggal, karena berdasarkan sejarah, sudah terbukti, Organisasi wadah tunggal tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah, merusak independen danmartabat Advokat serta merusak solidaritas dikalangan sesama Advokat.
Revisi UU Advokat tersebut juga, mengakomodir adanya multi Organisasi Advokat. Memungkinkan untuk lahirnya Organisasi Advokat yang baru sehingga menciptakan keragaman yang bersifat demokratis. Menyangkut pendirian Oranisasi Advokat yang baru tidaklah mudah karena Organisasi Advokat yang diakui harus mempunyai pengurus di semua Propinsi Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus di 30% DPC di wilayahKota/Kabupaten di setiap Propinsi. Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidak mudah suatu organisasi dapat di akui menjadi Organisasi Advokat. Serta mengenai standar pendidikan khusus profesi Advokat maupun ujian Advokat, dalam Revisi UU Advokat kurikulumnya tentu mengacu kepada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, oleh karenanya di yakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik.
Maka perlunya wujud rekonsiliasi advokat dikalangan Organisasi Advokat untuk mengembalikan wibawa dan martabat profesi advokat. Rekonsilasi tidak harus bersatu dalam satu organisasi, tetapi dalam bentuk solidaritas, saling menghargai dan menghormati diantara Advokat.
Jakarta, 15 Agustus 2014
Praktisi Hukum KAI
ERMAN UMAR.,SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar