Rabu, 20 Agustus 2014

PANSUS REVISI UU ADVOKAT DPR AGAR SEGERA MENUNTASKAN PEMBAHASANYA MENJADI UU ADVOKAT

PANSUS REVISI UU ADVOKAT DPR AGAR SEGERA MENUNTASKAN PEMBAHASANYA MENJADI UU ADVOKAT

UU No 18 th 2003 tentang Advokat sudah berlaku selama 11 tahun. Terhadap UU tersebut sudah di ajukan yudicial revieu (uji materi) di MK oleh kalangan Advokat, paling tidah sudah lebih kurang duapuluh kali, hal ini membuktikan banyaknya resistensi terhadap UU No. 18 th 2003 tentang Advokat tersebut.
Dalam realitasnya, UU dimaksud sudah tidak selaras dengan perkembangan demokrasi di Indonesia yang memberi kebebasan berorganisasi kepada warga Negara nya, dan tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar Advokat, yang sulit di satukan dalam satu wadah tunggal organisasi. Secara historis bisa dilihat faktanya, pada th 1964, berdiri organisasi Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), yang di zamanya dapat di anggap sebagai satu-satunya wadah organisasi bagi para Advokat. PERADIN saat itu banyak melahirkan Advokat-Advokat pejuang kenamaan, seperti Sukardjo Adijoyo, M. Tasrif, Yap Thiam Hien, Haryono Tjitro Subowo dan Adnan Buyung Nasution.
Dalam perkembanganya, pada awal th 1980 an berdiri beberapa kelompok Organisasi Advokat dan bantuan Hukum lain diantaranya PUSBADHI dan LPPH. Pada November 1985 Pemerintah yang di wakili Menteri Kehakiman ketika itu, Ali Said, memfasilitasi untuk menyatukan organisasi-organisasi Advokat menjadi wadah tunggal dengan melaksanakan MUNAS Advokat. MUNAS tersebut melahirkan organisasi wadah tunggal Advokat dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Ternyata, IKADIN yang dimaksudkan sebagai wadah tunggal Organisasi Advokat tidak dapat bertahan lama karena pada bulan Mei 1987 berdiri Organisasi Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) di Surabaya. Pada th 1989/1990 berdiri Organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang merupakan pecahan dari IKADIN. Pada th 1993 berdiri Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), yang merupakan pecahan IPHI. Tahun-tahun berikutnya berdiri Organisasi Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (AKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jumlah Organisasi Advokat menjadi 8 Organisasi.
Setelah berlaku UU Advokat No 18 th 2003 yang juga menghendaki Organisasi Advokat dalam satu wadah tunggal, maka berdasarkan deklarasi 8 Organisasi Advokat yang diwakili Ketua umum dan Sekjennya, pada sekitar th 2005 berdiri Organisasi Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). Kesepakatan yang terjadi diantara Organisasi pendiri PERADI pada saat itu ditunjuk pengurus sementara selama 2 Tahun dalam rangka mempersiapkan MUNAS/KONGRES ADVOKAT, sesuai dengan perintah Pasal 28 UU Advokat, yang mengatur bahwa Organisasi wadah tunggal Advokat itu dibentuk berdasarkan musyawarah (MUNAS/KONGRES para Advokat. Dan bukan berdasarkan musyawarah para pengurus Organisasi saja. Ternyata kemudian pengurus PERADI tidak kunjung melakukan MUNAS setelah berdiri sejak 2 th lebih. Akibanya terjadi perpecahan di tubuh PERADI, empat pengurus Organisasi pendirinya yakni dari IPHI, IKADIN pimpinan Teguh Samudra, HAPI dan APSI mengundurkan diri dari PERADI dan bahkan membuat pengumuman pembubaran PERADI di Koran.
Pada 30 mei 2008 dilaksanakan Kongres Advokat di Jakarta, yang didukung oleh IKADIN pimpinan Teguh Samudra (sekarang pimpinan Todung Mulya Lubis), IPHI, HAPI dan HPSI dan para Advokat senior, antara lain Adnan Buyung Nasution, Ronggur Hatagalung dan lainya. Kongres Advokat waktu itu dihadiri lebih dari 3000 Advokat dan ribuan surat-surat dukungan dari Advokat di seluruh Indonesia yang tidak bisa menghadiri Kongres Advokat tersebut. Hasil Kongres Advokat yang jumlah pesertanya sangat besar itu ( sangat legitimate) menghasilkan berdirinya Organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Perlu diketahui bahwa UU No. 18 th 2003 tentang Advokat tersebut, juga teledor menyalahi perinsip Independen yang merupakan perinsip dasar dari profesi Advokat, dengan dimasukkanya aturan yang menyangkut kewajiban seorang calon Advokat sebelum menjalankan praktek, diambil sumpahnya dihadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Aturan ini dapat mengakibatkan profesi Advokat berada dibawah pengaruh MA, PT, dan Hakim-Hakim Pengadilan. Sebagai perbandingan, untuk profesi penegak Hukum lainya: Polisi, Jaksa dan Hakim, sebelum mereka menjalankan profesinya mereka disumpah oleh instansi masing_masing. Ironis, Advokat disumpah oleh Pengadilan Tinggi.
Aturan mengenai sumpah Advokat ini terbukti telah menimbulkan dampak yakni merusak Independensi dan martabat profesi Advokat. Karena, ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia tidak mau mengambil Sumpah calon Advokat KAI yang sudah memenuhi syarat, yang menurut info yang berkembang di kalangan pengadilan tinggi, ketua pengadilan tinggi tidak berani mengabil sumpah Anggota KAI maupun Organisasi Advokat lainya karena takut kena sangsi oleh pihak Mahkamah Aggung, seperti yang di alami mantan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon. Pengadilan Tinggi hanya bersedia mengambil sumpah calon Advokat PERADI, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101 th 2009 menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon Advokat tanpa melihat dari Organisasi manapun yang mengajukanya, baik yang di ajukan PERADI maupun KAI, mengingat belum terbentuknya Organisasi wadah tunggal sebagai mana dimaksud UU Advokat No 18 th 2003.
Keadaan bertambah parah, para Advokat KAI maupun Advokat dari Organisasi lainya, banyak yang di tolak hakim pengadilan, pada saat mereka menjalankan profesi membela klienya, baik atas keberatan Advokat dari PERADI atau atas inisiatif majelis hakim yang memimpin sidang,dengan alasan Advokat tersebut belum memiliki berita acara sumpah (BAS). Akibatnya sering terjadi ketegangan antara majelis hakim dengan Advokat yang di tolak tersebut, padahal Advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah Advokat adalah pihak pengadilan tinggi.
Akibat lebih jauh timbul persepsi negative di kalangan Advokat yang di tolak sidang terhadap hakim pengadilan: Hakim pengadilan, di anggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM; Ketua Pengadilan Tinggi tidak mentaati Hukum (putusan MK 101).
Perkembangan terkini yang di alami profesi Advokat tergerusnya independen dan martabat Advokat serta lunturnya solidaritas sesama Advokat. Seakan akan Advokat yang sudah memiliki BAS senang dan bangga mempermalukan rekan sejawatnya yang tidak di perkenankan mengikuti sidang pengadilan.
Berkenaang dengan hal tersebut di atas maka para Advokat yang belum mendapatkan BAS dan yang selalu terjegal menjalankan profesinya menaruh harapan besar agar revisi UU Advokat dapat segera di sahkan pada akhir masa tugas DPR saat ini. Dengan revisi UU Advokat tersebut akan terlaksana pengambilan sumpah calon Advokat yang sudah memenuhi syarat tanpa hambatan dan tanpa diskriminasai sebagaimana yang dialami selama ini karna dalam revisi UU Advokat di akomodir multi organisasi Advokat dan pengambilan sumpah Advokat di lakukan oleh organisasi Advokat secara independen
Sekalipun Revisi UU Advokat tersebut mengakomodir adanya multi Organisasi Advokat,namun persyaratan diakunya suatu Organisasi Advokat tersebut tidaklah mudah, karena Organisasi yang di akui sah adalah yang mempunyai pengurus di semua propinsi di Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus 30% di kabupaten /kota di setiap profinsi. Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidah banyak Organisasi yang dapat di akui menjadi Organisasi Advokat yang sah.
Mengenai standar pendidikan khusus profesi Advokat maupun ujian Advokat, dalam revisi UU Advokat kurikulum tentu mengacu kepada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, oleh karenanya diyakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik, sehingga kekhwatiran PERADI dan kalangan unsur Pengadilan Tinggi bahwa dengan multi Organisasi, akan menimbulkan banyak Advokat nakal yang akan merugikan pencari keadilan, tidak akan terjadi. Nakal tidaknya seorang Advokat bukan karena sistim wadah tunggal atau multi Organisasi, tetapi tergantung integritas pribadi Advokat yang bersangkutan, dan pengawasan dari Organisasi, Masyarakat dan Pemerintah.
Di samping itu revisi UU tersebut juga mengenal adanya lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN) yang akan bertugas menjaga/mengawal etika profesi, kurikulum pendidikan Advokat . Sekalipun DAN diseleksi oleh panitia yang disiapkan pemerintah dan di pilih oleh DPR belum tentu anggota DAN yang terpilih akan tunduk terhadap anggota DPR/tekanan politis pihak yang memilihnya, tergantung integritas moral anggota DAN tersebut. Kita bisa melihat contoh anggota KPK, mereka tidak tunduk terhadap pemerintah maupun terhadap anggota DPR yang memilihnya. Oleh karena itu sangat di perlukan partisipasi organisasi Advokat untuk memberikan masukan kepada DPR terhadap integritas dan track record dari calon-calon anggota DAN yang akan di pilih.
Secara khusus, terhadap pimpinan PERADI dihimbau, agar tidak terlalu resisten terhadap revisi UU Advokat , karena revisi UU Advokat tersebut yang mengatur lebih detail tentang seluk beluk profesi Advokat, diyakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat. Sudah tidak zamanya lagi organisasi Advokat merupakan wadah tunggal, karena berdasarkan sejarah sudah terbukti Organisasi wadah tunggal Advokat di Indonesia tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah. 
Berkenaan dengan hal tersebut mengingat revisi UU Advokat sangat di perlukan guna perbaikan mutu profesi Advokat dan penegakan Hukum di Indonesia, dimohon kepada Pansus revisi UU Advokat DPR RI untuk segera mengesahkanya menjadi UU.



Jakarta 20 Agustus 2014

ERMAN UMAR, S.H
PRAKTISI HUKUM KAI


Sent from Yahoo Mail for iPhone

Minggu, 17 Agustus 2014

REKONSILIASI ADVOKAT INDONESIA

           PERLUNYA REKONSILIASI

DALAM ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA

 

               ERMAN UMAR.,SH

 

A.  SEJARAH ORGANISASI  ADVOKAT DI  INDONESIA

 

Sejarah organisasi advokat secara nasional bermula dari didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah yang sedang berkuasa sehingga pemerintah ORBA menfasilitasi berdirinya Organisasi Advokat munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin dan Ikadin ternyata tdiak bisa diintervensi Pemerintah. Kemudian sekitar bulan Mei 1987 berdiri IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia). Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan Ikadin lahir Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mendirikan dan kemudian. Dimana selanjutnya lahir Organisasi Advokat lain yaitu : HAPI, AKHI, SPI, HKHPM, dan APSI

Sejak diberlakukannya UU Advokat No.18 Tahun 2003 pada tanggal 5 April 2003, maka 8 organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya disahkan pada 8 September 2005.

Peradi tersebutlah yang pada saat perjalanannya ternyata tidak dapat memenuhi beberapa hal permasalahan secara organisasi tidak melaksanakan kongres sesuai dengan komitmen selama 2 tahun dalam masa transisi, maka menimbulkan perpecahan lahirnya KAI (Kongres Advokat Indonesia) pada tahun 2008. Sehingga sampai saat ini ada 2 (dua) organisasi Advokat yang melaksanakan UU Advokat 18 Tahun 2003. Dalam keberlangsungannya PERADI ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia. Dan KAI ini menyelengarakan Diklat Khusus Pendidikan Advokat (DKPA), Ujian Calon Advokat (UCA) dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia.

 

B. INTERVENSI MARI dengan Surat Ketua Mahkamah Agung No.052 dan 089

Bahwa dalam perjalanannya kedua Organisasi Advokat yaitu KAI dan PERADI mengalami perdebatan dan gesekan yang sangat tidak sehat dengan turut campurnya MARI yang berkepihakan kepada PERADI dengan alasan dan kompentensi yang tidak jelas. Dimana Ketua MA awalnya mengeluarkan Surat Nomor: 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk tidak mengambil sumpah advokat sebelum ada ishlah antara Peradi-KAI. Kemudian dengan lahirnya surat tersebut, oleh perjuangan para Advokat KAI pun berontak. Mereka menguji Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mengharuskan agar calon advokat diambil sumpah di Pengadilan Tinggi sebelum berpraktek,maka lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009" tanggal 30 Desember 2009, dimana putusannya mengakui keberadaan Organisasi Advokat KAI dan PERADI dan memerintahkan dalam 2 (dua) tahun sejak putusan ini untuk melakukan munas bersama danmenyatakan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon Advokat tanpa melihat dari organisasi apapun yang mengajukannya.

Setelah keluarnya Putusan MK No.101 kemudian ada upaya KAI-PERADI untuk melakukan MUNAS bersama untuk membentuk organisasi wadah tunggal , tapi disayangkan akhirnya entah oleh karena apa yang salah diantara tokoh-tokoh KAI-PERADI ternyata yangterjadinya niat Piagam Perdamaian sekitar tanggal 24 Juni 2010 antara PERADI dan KAI yang berakhir dengan pembatalan dikarenakan ditentang oleh DPD-DPD dan anggota KAI, namun tetap diberlakuakn oleh PERADI dan MARI secara sepihak dan terlihat dengan  menerbitkan surat bernomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang mencabut surat bernomor 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk dapat mengambil sumpah para calon advokat dengan ketentuan usul penyumpahan harus diajukan pengurus Peradi sesuai jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010,” dimana beralaskan dasarmenerbitkan SK KMA 089 itu berdasarkan Pasal 32 ayat (4) UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Ketentuan itu berbunyi ‘Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya’. SK KMA 089 itu hanya memberi petunjukinternal kepada semua pengadilan di bawah MA terkait penyumpahan advokat yang merugikan salah satu pihak Organisasi Advokat. Hal ini sangat jelas memperlihatkan keberpihakan MARI yang memaksakan kewenangannya untuk memberikan petunjuk untuk membenarkan PERADI. Namun MA secara jelas tidak mempunyai kewenangan untuk mengesahkan Organisasi Advokat mana yang sah secara hukum. Keadaan inilah yang memicu terjadinya penolakan Advokat untuk bersidang di peradilan dengan mempermasalahkan BAS yang dilakukan oleh KPT (Ketua Pengadilan Tinggi).

C. PERPECAHAN LEMBAGA ADVOKAT INDONESIA

Dengan lahirnya Surat Ketua MA No. 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010, maka keadaan bertambah parah, para Advokat KAI maupun dari Organisasi Advokatlainnya, banyak yang ditolak Hakim Pengadilan, pada saat mereka menjalankan profesi membela kliennya, baik atas keberatan Advokat dari PERADI ataupun atas inisiatif Majelis Hakim yang memimpin sidang, dengan alasan Advokat tersebut belum memiliki Berita Acara Sumpah (BAS). Akibat sering terjadi ketegangan antara Majelis Hakim dengan Advokat yang ditolak tersebut, padahal Advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah Advokat adalah pihak Pengadilan Tinggi. Akibat lebih jauh timbul persepsi negatif dikalangan Advokat yang ditolak bersidang baik terhadap Organisasi PERADI maupun terhadap Pengadilan Tinggi/Hakim Pengadilan, yang di anggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM, Warga Negara dalam mencari nafkah dan mengembangkan profesinya, perkembangan terkini yang dialami profesi Advokat tergerusnya independen dan martabat Advokat serta lunturnya solidaritas sesama Advokat, dimana sering terjadi Advokat bagaikan serigala bagi advokat lainya dan Hakim menjadi serigala bagi advokat. Seakan-akan Advokat yang sudah memiliki Berita Acara Sumpah (BAS) senang dan bangga mempermasalahkan rekan sejawatnya yang tidak diperkenankan mengikuti sidang Pengadilan.

Pada sisi lain secara tegas dan nyata bahwa Pengadilan Tinggi tidak mentaati Hukum (Putusan MK 101 tanggal 30 Desember 2009) berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka para Advokat yang belum mendapatkan Berita Acara Sumpah (BAS)  dari Pengadilan Tinggi, dan yang selalu terjegal menjalankan profesi mencari nafkah, menaruh harapan besar agar Revisi UU Advokat dapat segera di sahkan pada akhir masa Pemerintahan dan DPR RI saat ini (2009-2014). Dengan Revisi UU Advokat tersebut, akan memungkinkan terlaksananya pengambilan sumpah calon advokat, yang sudah memenuhi syarat sebagai Advokat, tanpa hambatan dan tanpa disrkriminasi sebagaimana yang dialami selama ini.

D. REKONSILIASI ADVOKAT INDONESIA

Untuk mengambalikan citra dan wibawa profesiADVOKAT INDONESIA, perlu dilakukan rekonsiliasi advokat. Dimana pengertian Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).

Memperhatikan begitu pentingnya kedudukan ADVOKAT dalam penegakan hukum maka semua pihak baik para Advokat, Organisasi Advokat, Pemerintah dan masyarakat Bangsa Indonesia menuntut dan bersama-sama untuk menciptakan situasi yang kondusif ADVOKAT INDONESIA dengan cara rekonsiliasi dan mendukung terhadap lahirnya UU Advokat yang baru karena UU Advokat yang lama sudah sangat ketinggalan yang tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas Advokat Indonesia.

Untuk itu secara khusus, terhadap rekan Pimpinan PERADI dihimbau, agar tidak terlalu resisten terhadap Revisi UU Advokat, karena Revisi UU Advokat tersebut yang lebih detail dari UU Advokat yang lama, di yakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat. Sudah tidak zamannya lagi organisasi Advokat merupakan wadah tunggal, karena berdasarkan sejarah, sudah terbukti, Organisasi wadah tunggal tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah, merusak independen danmartabat Advokat serta merusak solidaritas dikalangan sesama Advokat.

Revisi UU Advokat tersebut juga, mengakomodir adanya multi Organisasi Advokat. Memungkinkan untuk lahirnya Organisasi Advokat yang baru sehingga menciptakan keragaman yang bersifat demokratis. Menyangkut pendirian Oranisasi Advokat yang baru tidaklah mudah karena Organisasi Advokat yang diakui harus mempunyai pengurus di semua Propinsi Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus di 30% DPC di wilayahKota/Kabupaten di setiap Propinsi. Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidak mudah suatu organisasi dapat di akui menjadi Organisasi Advokat. Serta mengenai standar pendidikan khusus profesi Advokat maupun ujian Advokat, dalam Revisi UU Advokat kurikulumnya tentu mengacu kepada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, oleh karenanya di yakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik.

Maka perlunya wujud rekonsiliasi advokat dikalangan Organisasi Advokat untuk mengembalikan wibawa dan martabat profesi advokat. Rekonsilasi tidak harus bersatu dalam satu organisasi, tetapi dalam bentuk solidaritas, saling menghargai dan menghormati diantara Advokat.

 

Jakarta, 15 Agustus 2014

 Praktisi Hukum KAI

 

 ERMAN UMAR.,SH

     

 

Sabtu, 07 Juni 2014

PERNYATAAN PRESIDEN KAI KNLB

7 Juni 2014
Bagi anggota dan pemimpin KAI yang betuL betuL mencintai KAI pasti terbuka. Peluang untuk bersatunya KAI yang utuh. Kpo KAI dalam hasiL KLB. TgL 24 ApriL telah membentuk pengurus yg bertugas hanya selama 1 tahun, dg tugas antara Lain: menuntaskan Legalitas organisasi seperti; mendaftarkan KAI sebagai badan hukum. Ke Kumham, mendaftarkan Logo KAI ke dirjen Haki Kumham, mengurus NPWP atas nama KAI, mengurus Rek Bank atas nama KAI, (  semua legalitas sudah diperoleh tinggaL hanya Haki yg perlu waktu) memperbaiki hubungan dg MA dan jajarannya dg target kemudahan anggota dalam bersidang di PengadiLan, dan upaya Perjuangan BAS, meningkatkan mutu anggota dg melakukan training2 untuk memperkuat kemampuan anggota dalan beracara sidang pidana, perdata, pertanahan, Pailit, Haki, korupsi, Tun dan Lain2 . Mengembangkan kemampuan Carporate Lawyer . Paling Lama 1 tahun, Kpo KAI akan mengadakan Kongres NasionaL untuk memilih pengurus yg definitif periode 5 tahun. Pada saat tsb (Kongres NasionaL yg akan dilaksanakan paling lama 24 ApriL 2015)   terbuka peluang bagi kita untuk bersatu kembali dalam satu KAI yang utuh, dg keterlibatan semua kelompok KAI dalam acara Kongrs NasionaL yg akan datang tersebut. Sementara sekarang ini, bukalah komunikasi yg positif dg jiwa besar, tanpa menyalahkan satu sama lainnya. Apa yg bisa secara bersama kita lakukan untuk memperjuangkan kendala2 yg dihadapi anggota, memperbaiki hubungan dg MA danjajarannya dan hal2 lain yg bermanfaat bagi anggota KAI, maupun bagi dunia advokat pada umumnya
Hormat Saya

SALAM KAI

Selasa, 08 April 2014

SURAT KPO-KAI kepada President dan Sekjen KAI Demisioner





PERS RELEASE KPO-KAI



Surat Ketua MA RI No.113/2009

page1image236


BERITA ACARA SUMPAH ADVOKAT

Senin, 21 Oktober 2013 – dibaca:6350

Bukti Berita Acara Sumpah Advokat untuk Bersidang

agusgunawan
Kategori:Profesi Hukum
Masih seputar advokat. Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur bahwa advokat harus disumpah. Terhadap ketentuan tersebut berdasarkan putusan MK No 101 tahun 2009 dinyatakan sebagai kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Kenyataannya, masih ada advokat yang telah memiliki KTA tapi ia belum dilantik. Pertanyaan: apakah tidak sebaiknya advokat yang bersidang melampirkan bukti pelantikan dan juga KTA sebab mewakili di persidangan harus orang yang benar menurut UU? Terima kasih. Agus

Jawaban:

Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak mengenal istilah ‘dilantik’ atau ‘pelantikan’. Istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagaimana seseorang ditetapkan menjadi advokat adalah ‘pengangkatan’ sebagaimana diatur dalam Bab II tentang Pengangkatan, Sumpah, Status, Penindakan, dan Pemberhentian Advokat.

 

Pasal 2 Ayat (2) UU Advokat menyatakan bahwa pengangkatan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi advokat dapat dilihat lebih lanjut dalam artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan.

 

Sementara mengenai istilah KTA yang Anda sebutkan, kami beranggapan bahwa yang Anda maksud adalah kartu tanda pengenal advokat (KTPA) yang diterbitkan setelah pengangkatan oleh organisasi advokat.

 

Istilah KTPA ini salah satunya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.: 07/SEK/01/I/2007 tentang Sosialisasi KTPA Baru. Dalam surat edaran tersebutdiberitahukan  bahwa dengan akan berakhirnya Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada tanggal 31 Desember 2006, maka diberitahukan bahwa Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akan mengeluarkan pengganti dengan KTPA baru atas nama PERADI yang akan digunakan oleh para Advokat yang berpraktik di pengadilan dari semua lingkungan peradilan di seluruh Indonesia.

 

Dari beberapa hal di atas diketahui bahwa KTPA sebenarnya dikeluarkan setelah seseorang diangkat menjadi advokat oleh organisasi advokat. Oleh karenanya kami kurang memahami pertanyaan Anda mengapa seorang advokat harus menunjukkan bukti pelantikan (yang kami anggap sama dengan pelantikan) dan KTPA secara bersamaan di pengadilan? Karena menurut hemat kami KTPA adalah bukti bahwa seseorang telah diangkat (dalam bahasa Anda dilantik) menjadi Advokat.

 

Namun jawabannya akan berbeda bila istilah ‘pelantikan’ yang Anda maksud merujuk pada pengambilan sumpah di hadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Advokat.

 

Pasal Lengkapnya Pasal 4 Ayat (1) UU Advokat tersebut, berbunyi: Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

 

Seperti Anda sebutkan di atas, ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 101 Tahun 2009 yang pada intinya memerintahkan agar dalam waktu dua tahun sejak putusan MK itu dibacakan Pengadilan Tinggi mengambil sumpah semua advokat tanpa memandang dari mana asal organisasinya. Untuk mengingatkan, saat ini ada beberapa organisasi advokat yang mengaku menjadi wadah yang sah. Ada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).  

 

Pada perjalanannya, Ketua MA mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 089/KMA/VI/2010 yang memerintahkan Ketua PT se-Indonesia untuk mengambil sumpah calon advokat yang diusulkan PERADI. Surat Keputusan Ketua MA itu diterbitkan setelah ada penandatanganan nota perdamaianantara PERADI dan KAI.

 

Akibat SK Ketua MA tersebut, akhirnya advokat KAI tidak bisa diambil sumpahnya. Dan pada praktiknya ada beberapa kasus dimana hakim meminta para advokat untuk terlebih dulu menunjukkan berita acara sumpah advokat sebelum mendampingi/mewakili kliennya.

 

Namun berdasarkan penelusuran kami, sejauh ini kami belum dapat menemukan aturan atau dasar hukum bagi hakim untuk meminta advokat menunjukkan berita acara pengambilan sumpahnya.

 

Ketua Mahkamah Agung yang pada tahun 2009 masih dijabat oleh Harifin A Tumpa pernah mengeluarkan surat bernomor 113/KMA/IX/2009. Surat itu ditujukan kepada Dewan Pimpinan Pusat KAI. Dalam surat itu Harifin mengatakan bahwa hakim memang tidak perlu meminta Berita Acara Sumpah setiap advokat yang beracara di pengadilan, akan tetapi apabila ada yang mempersoalkan keabsahannya sebagai advokat, maka tentu hakim dapat meminta persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.

 
 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung No.: 07/SEK/01/I/2007 tentang Sosialisasi KTPA Baru
 

Senin, 03 Maret 2014

PENAHANAN


Hukum Pidana

Penahanan

A.    Pengertian Penahanan
 “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1 butir 21 KUHAP) 
Pasal 21 KUHP mengatur baik tentang sahnya maupun tentang perlunnya penahanan. Teori membedakan tentang sahnya (rechvaar-dighed) dan perlunya (noodzakelijkheid) penahanan.
Dalam penahanan adalah satu bentuk rampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus di pertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan tersangka. 
Sahnya penahanan bersifat obyektif dan mutlak, artinya dapat diabaca dalam undang-undang delik-delik yang mana yang termasuk tersangkanya dapat dilakukan penahanan. Mutlak karena pasti, tidak dapat diatur-atur oleh penegak hukum. Sedangkan perlunnya penahanan bersifat karena yang menentukan kapan dipandang perlu diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat yang akan melakuakan penahanan. 
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal yang fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping kemungkinan digugat  pada praperadilan. Ganti rugi dalam masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup, didasari dengan adanya kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa tersebut :
1. Melarikan diri;
2. Merusak atau menghilangkan alat bukti;
3. Mengulangi tindak pidana tersebut.
Substansi surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim dalam hal dilakukannya penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa, di dalam surat tersebut harus memuat :
a. Identitas tersangka atau terdakwa;
b. Alasan dilakukannya penahanan;
c. Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan;
d. Serta tempat tersangka/terdakwa ditahan
Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa. Penahanan dikenakan kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun atau lebih
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, pasal 560 KUHP

B.    Pejabat Yang Berhak Menahan 
Penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan kepentingan penuntutan di sidang pengadilan (Pasal 20 KUHAP) 
1. Penyidik atau Penyidik Pembantu (Pasal 11 ayat 1 KUHAP)
2. Penuntut Umum (Pasal 11 ayat 2 KUHAP)
3. Hakim (Pasal 11 ayat 3 KUHAP), hanya memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh jaksa.
Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan pasal 29 ayat (3) berbeda dengan yang berwenang memperpanjang yang biasa. Dalam ayat itu ditentukan bahwa:
a)    Pada tingkat penyidik dan penuntut diberikan oleh ketua pengadilan negeri.
b)    Pada tingkat pemerikasaan di pengadilan negeri diberikan olek ketua pengadilan tinggi.
c)    Pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung.
d)    Pada tingkat kasasi diberikan oleh ketua Mahkamah Agung
Dalam hal penggunaan wewenang perpanjangan penahanan tersebut KUHAP member batas-batas sebagai berikut:
1.    Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi, pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua Mahkamah Agung (pasal 29 ayat (7) KUHAP).
2.    Tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan pasal 96.

C.    Jangka Waktu Penahanan
a. penyidik = berwenang untuk menahan tersangka selama 20 hari dan demi kepentingan penyidikan dapat diperpanjang selama 40 hari
b. penuntut umum = berwenang untuk menahan tersangka selama 20 hari dan demi kepentingan pemeriksaan yanmg belum selesai dapat diperpanjang selama 30 hari
c. hakim pengadilan negeri = berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka untuk paling lama 30 hari dan guna kepentingan pemeriksaan dapat diperpanjang selama 60 hari.
Artinya adalah ketika dalam tiap tingkat pemeriksaan tersangka atau terdakwa tidak terbukti dan atau masa penahanan untuk kepentingan pemeriksaan sudah lewat waktu nya maka tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dalam tahanan demi hukum.
Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut:
1)    Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik    20 hari
2)    Perpanjangan oleh penuntut umum            40 hari
3)    Penahanan oleh penuntut umum                20 hari
4)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri        30 hari
5)    Penahanan oleh hakim pengadilan negeri            30 hari
6)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri        60 hari
7)    Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi            30 hari
8)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan tinggi        60 hari
9)    Penahanan oleh Mahkamah Agung            50 hari
10)    Perpanjangan oleh ketua Mahkamah Agung        60 hari
Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari.   Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan pasal 29 ayat 3.
Menurut pasal 30 KUHAP, apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27 dan pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagimana tersebut pada pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96.

D.    Syarat Penahanan
1. Syarat Obyektif, yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang lain;
2. Syarat Subyektif, yaitu karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak  (Moeljanto (1978:25)
    Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
    Pasal 21 ayat 4 KUHAP:
Tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
1. Tindak pidana itu diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
2.Tindak pidana tersebut melanggar pasal: 
a. 282 ayat 3 : penyebaran tulisan-tulisan, gambar-gambar, atau barang-barang lain yang isinya melanggar kesusilaan dan perbuatan tersebut merupakan suatu kebiasaan atau sebagai mata pencaharian 
b. Pasal 296 KUHP : tindak pidana sebagai mata pencaharian atau membantu perbuatan cabul.
c. 335 ayat 1 KUHP : tindak pidana memaksa orang untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.
d. 351 ayat 1 KUHP: Tindak pidana penganiayaan
e. 353 ayat 1 KUHP: Tindak pidana penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu
f. 372 KUHP: Tindak pidana penggelapan
g. 378 KUHP: Tindak pidana penipuan
h. 379a KUHP: Tindak pidana penipuan dalam jual beli
i. 453 KUHP: Tindak pidana yang dilakukan nahkoda kapal Indonesia dengan sengaja atau melawan hukum menghindarkan diri memimpin kapal
j. 454 KUHP: Tindak pidana melarikan diri dari kapal bagi awak kapal
k. 455 KUHP: Tindak pidana melarikan diri dari kapal bagi pelayan kapal
l. 459 KUHP: Tindak pidana yang dilakukan penumpang kapal yang menyerang nahkoda
m. 480 KUHP: Tindak pidana penadahan
n. 506 KUHP: Tindak pidana melakukan pekerjaan sebagai germo.
    Tindak pidana diluar KUHP
1. Pelanggaran terhadap ordonansi Bea Cukai, terakhir diubah dengan staatsblad Tahun 1931 Nomor 471 (Rechten Ordonantie) Paal 25 dan 26
2. UU No.8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi Paal 1,2,3
3. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkoika Pasal 36 ayat 7, 41, 42, 43, 47 dan 48

E.    Dasar penahanan:
a.Unsur Objektif/Yuridis:
– Tindak pidana yg disangkakan diancam dgn 5 (lima) tahun penjara atau lebih.
– Pidana dlm psl 282/3(kesusilaan), 296(perbuatan cabul), 335/1(perbuatan tdk menyenangkan, pencemaran nama baik), 351/1(penganiayaan berat kecuali percobaan penganiayaan), 372(penggelapan), 378(penipuan), 379a(penipuan), 453, 454, 455, 459, 480 dan 506 KUHAP, 25 dan 26 stbld 1931 no. 471 (pelanggaran terhadap ordonansi beacukai), psl 1, psl 2 dan psl 4 UU TP Imigrasi.
b. Unsur Subjektif:
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana (psl 21/1 KUHAP).

F.    Tata cara penahanan
a. dengan surat perintah penahanan dari penyidik/penuntut umum/hakim yg berisi:
– identitas tersangka,
– menyebut alasan penahanan,
– uraian singkat kejahatan yg disangkakan,
– menyebut dgn jelas ditempat mana tersangka ditahan. (psl 21/2)
b. menyerahkan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga tersangka.   

G.    Keberatan atas penahanan:
a. tersangka, keluarga, atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau atas jenis penahanan yang dikenakan kepada tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu (psl 123/1)
b. apabila dalam waktu 3 (tiga) permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau PH dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik (psl 123/3).
c. Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dalam ayat tersebut dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat (psl 123/5). 
H.    Macam-macam bentuk penahanan:
a. Rumah tahanan negara (Rutan)
Tersangka atau terdakwa yang masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan ditahan di Rutan.
Perbedaan jenis-jenis penahanan  sebagaimana yang di maksud pasal 22 (1) KUHAP, dapat juga dilihat perbedaan cara  pengurangannya dari pidana yang di jatuhkan. Dalam pasal 22 ayat 4 KUHAP dinyatakan  bahwa masa penangkapan dan penahanan (Rutan) dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang di jatuhkan. Kemudian dalam ayat 5 pasal tersebut dinyatakan pula bahwa penahanan rumah hanya dikurangkan 1/3 dan tahanan kota dikurangkan 1/5 dari pidana yang dijatuhkan. Mengenai jangka waktu penahanan diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29 KUHAP, pengaturan tersebut dilakukan secara instansional sesuai dengan tahap pemeriksaan. 
    Pengeluaran tahanan
a. pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik untuk kepentingan pemeriksaan (psl 112)
b. pengeluaran tahanan karena pengalihan jenis penahanan (psl 22/1 dan 3b) 
    Pembebasan tahanan
a. apabila seorang tersangka/terdakwa tidak diperlukan lagi penahanan guna kepentingan pemeriksaan, instansi yang melakukan penahanan dapat atau berwenang untuk memerintahkan pembebasan tahanan dari rutan (psl 24, 25, 26, 27, 28) 
b. apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani, pejabat rutan berwenang untuk mengeluarkan seorang tahanan dari rutan apabila putusan peminadanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Kepala rutan tidak memerlukan surat perintah dari instansi manapun untuk membebaskan tahanan. 
    Pembebasan tahanan demi hukum
Apabila masa tahanan telah habis, tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan. Maka kepala rutan harus membebaskan tahanan dari rutan. 
    Pengeluaran tahanan
a. pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik untuk kepentingan pemeriksaan (psl 112)
b. pengeluaran tahanan karena pengalihan jenis penahanan (psl 22/1 dan 3b) 
    Pembebasan tahanan
a. apabila seorang tersangka/terdakwa tidak diperlukan lagi penahanan guna kepentingan pemeriksaan, instansi yang melakukan penahanan dapat atau berwenang untuk memerintahkan pembebasan tahanan dari rutan (psl 24, 25, 26, 27, 28) 
b. apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani, pejabat rutan berwenang untuk mengeluarkan seorang tahanan dari rutan apabila putusan peminadanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Kepala rutan tidak memerlukan surat perintah dari instansi manapun untuk membebaskan tahanan. 
    Pembebasan tahanan demi hukum
Apabila masa tahanan telah habis, tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan. Maka kepala rutan harus membebaskan tahanan dari rutan. 
b. Rumah, penahanan rumah dijelaskan  dalam peraturan pelaksanaan KUHAP,tapi hal ini tidak disebut dalam PP Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Dalam  praktik, jarang dilakukan penahanan rumah.
c. Kota (psl 22/1) 
Dilakukan di kota/desa/kampung tempat kediaman tersangka. Selama dalam tahanan wajib melapor pada waktu yang ditentukan (psl 22/3) Pengalihan jenis penahanan (psl 23). Perbedaan jumlah pengurangan masa penahanan Rutan dan penahanan rumah/kota tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa penahanan Rutan dirasakan sebagai bentuk penahanan yang paling berat di bandingkan dengan jenis penahanan rumah/kota.
 pasal 22 ayat (5), untuk penhanan kota pengurangannya 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan. Ini berarti bahwa  penyidik atau penuntut umum atau hakim dalam mengalihkan bentuk penahanan dari satu ke yang lain harus menghitung dengan seksama.

I.    Tata cara pengalihan penahanan:
Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengn surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan pasal 23 (berkenaan dengan jangka waktu penahanan menurut pasal 24 KUHAP):
a.    perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b.    Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat 1 apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alas an dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
c.    Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d.    Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. 
 Setiap orang yang ditahan dapat mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rutan ke jenis penahanan rumah atau jenis penahan kota. 
    Pengurangan masa tahanan:
a. Penahanan rutan, pengurangannya sama dengan jumlah masa penahanan.
b. Penahanan rumah,pengurangannya sama dengan 1/3 x jumlah masa penahanan.
c. Penahanan kota, jumlah pengurangan masa penahanannya sma dengan 1/5 x jumlah masa penahanan kota yang telah dijalani. (psl 22/5
    Kunjungan penasihat hukum ke rutan
    Harus meminta ijin dulu dari instansi yang bertanggungjawab secara yuridis atas penahanan (psl 20 Per MenKeh No. M.04.UM.01.06/1983) 
    Penangguhan penahanan
Atas permintaan tersangka atau terdakwa penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan. (psl 31 KUHAP Jo. Psl 35 dan 36 PP no. 27/1983 Jo. Psl 25 Per MenKeh No. M.04.UM.01.06/1983. tgl 16 Desember 1983 Jo. Kep MenKeh No. M.14-PW.07.03/1983 tanggal 10 Desember 1983)
    Syarat yang ditentukan dalam hal penangguhan penahanan adalah :
a. tidak keluar rumah dan kota;
b. wajib lapor.
    Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada:
1. permintaan dari tersangka/terdakwa
2. permintaan disetujui oleh instansi yang menahan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan
3. ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan
    Jaminan penangguhan penahanan bisa berupa
1. Jaminan Uang yang ditetapkan secara jelas dan disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan penahanan. Uang jaminan tersebut disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang penyetorannya dilakukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya atau kuasa hukumnya berdasarkan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh instansi yang menahan. Bukti setoran tersebut dibuat dalam rangkap tiga dan berdasarkan bukti setoran tersebut maka instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan
2. Jaminan orang, maka si penjamin harus membuat pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa penjamin bersedia bertanggung jawab apabila tersangka/terdakwa yang ditahan melarikan diri. Untuk itu harus ada surat perjanjian penangguhan penahanan pada jaminan yang berupa orang yang berisikan identitas orang yang menjamin dan instansi yang menahanenetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin (uang tanggungan)
    Penyetoran uang tanggungan baru bisa dilaksanakan apabila
1. tersangka/terdakwa melarikan diri
2. setelah tiga bulan tidak diketemukan
3. penyetoran uang tanggungan ke kas negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri
4. pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas jaminan dari si penjamin


DAFTAR PUSTAKA

3.    Hamzah, Andi.1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan Praktek Penahanan-Dakwaan- Requisitoir. Jakarta:Penerbit Rineka Ciptra
6.    Kansil, C.S.T.1989. pengantar ilmu hukum dan Tata hukum di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 
7.    Hamid, Hamrat, dan Harun, m.husein.1992. pembahasan permasalan KUHAP bidang penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika.
8.    Hamzah, Andi.2008. Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Klik disini untuk file berbentuk word
lisa di 06.30
Berbagi
 
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Beranda
Lihat versi web
ABOUT ME


lisa
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger